"Kenapa bertopeng jika tak punya muka?!"

Senin, 21 Februari 2011

Untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa ! ( tentang susu dan seekor bakteri E. Sakazakii )

Menilik sebuah berita yang akhir-akhir ini membuat sedikit gerah segenap civitas universitas tempat saya menuntut ilmu, yang menyangkut tentang sebuah penelitian kandungan bakteri Enterobacter Sakazakii di dalam susu formula untuk bayi. Pada tulisan kali ini saya ingin memberikan beberapa informasi yang mungkin akan menambah khasanah dan wawasan para pembaca tentang sebuah etika penelitian untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

Pada masa sekarang ini yang penuh dengan berbagai "pertikaian ilmu pengetahuan" dan gejolak dunia politik dan sosial, kita seharusnya menjadi masyarakat yang cerdas yang tidak langsung menghakimi suatu "kasus" dengan satu sudut pandang saja dan tanpa bekal ilmu pengetahuan serta cara berpikir yang benar.
Lihatlah sesuatu dengan Kacamata pengetahuan, logika dan kebenaran. Melihat apa yang seharusnya terlihat. Jangan cuma melihat yang ada di "luar" saja.

Adanya sebuah Penelitian bukan utk menjadi perdebatan yg saling menyudutkan, tapi menjadi sebuah pembelajaran dan upaya mencari jalan keluar secara kekeluargaan dalam pemecahan sebuah permasalahan.
Semoga masyarakat bisa lebih cerdas menyikapi sebuah penelitian utk ilmu pengetahuan.
Seperti salah satu kutipan tujuan kemerdekaan negara ini dalam pembukaan UUD 1945 : 
Untuk mencerdaskan kehidupan bangsa "

Berikut ini saya lampirkan beberapa artikel yang saya ambil dari berbagai sumber, sebelumnya terima kasih untuk setiap nara sumber karena mau berbagi demi tegaknya sebuah kebenaran dalam ilmu pengetahuan. 


1. KASUS SUSU BAKTERI, IPB (TIDAK) LEMPAR BATU SEMBUNYI TANGAN


Oleh: Rika Novayanti
JAKARTA: Sri Estuningsih (Estu) awalnya berburu bakteri dalam susu formula untuk penelitian doktoral saat menempuh pendidikan bidang Mikrobiologi dan Patologi di Justus Liebig Universitat, Gieben, Jerman.
Penelitia 2078 n yang awalnya mencari penyebab diare pada bayi, dengan fokus pada Salmonella, Shigella dan E. Coli sebagai bakteri penyebab diare, justru menemukan Enterobacter Sakazakii.
Enam tahun setelah penelitian dilaksanakan, Estu justru menghadapi tuntutan hukum. Adalah David Tobing, Pengacara Publik yang berturut-turut memenangkan tuntutan di level Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Isi tuntutan tersebut adalah agar Institut Pertanian Bogor (IPB), Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Bpom) mengumumkan merek susu yang terpapar Enterobacter Sakazakii sesuai penelitian Estu yang dilaksanakan mulai tahun 2003 itu.
Pasalnya, penelitian yang mulai dilakukan pada 2003 itu bukanlah penelitian survaillance, artinya peneliti tidak mendaftar seluruh merek susu yang beredar di pasaran, melainkan semata mencari bakteri yang terdapat pada susu.
Apabila merek susu diungkap, hal itu tentunya tidak adil dan diskriminatif karena sampel tidak mewakili seluruh jenis susu dan makanan bayi yang beredar dipasaran. Padahal E. Sakazaki adalah jenis bakteri yang dapat dijumpai di mana-mana, termasuk dalam usus manusia yang tidak sakit.

———

Penelitian yang awalnya dilakukan di Jerman tersebut sebenarnya menyoroti cemaran Salmonella, Shigella dan E. Coli berkaitan dengan diare pada bayi. Bukannya menemukan ketiga bakteri tersebut, Estu justru menemukan cemaran E. Sakazakii sebanyak 13,5%, atau ditemukan dalam 10 dari 74 sampel. Pada 2004 bakteri itu masih ditemukan dalam 3 sampel dari 46 sampel yang diteliti.
Penelitian yang sama pada 2006 justru menemukan kecenderungan yang lebih tinggi E. Sakazakii ditemukan dalam 22,73% sampel susu formula dan 40% sampel makanan bayi.
Dari hasil karakterisasi bahaya yang dilakukan dalam penelitian pada 2006, ditemukan bahwa E. Sakazakii dapat menyebabkan enteritis, sepsis dan meningitis. Karena dianggap berbahaya, pada 2006 hasil penelitian tersebut dilaporkan ke BPOM.

Penemuan itu menjadi pertimbangan bagi IPB untuk mengajukan ke BPOM agar Indonesia mengikuti aturan Codex Alimentarius Commission untuk membatasi kadar cemaran E. Sakazakii dalam susu formula, makanan bayi, serta barang konsumsi lain.
Selain itu pada saat itu pihak IPB berharap agar BPOM dapat melakukan penelitian yang lebih memadai, misalnya dengan metode survaillance agar dapat menyertakan keseluruhan merek susu formula dan makanan bayi yang beredar di pasaran.

Baru pada 2009 BPOM mengadopsi Codex yang mengatur cemaran E. Sakazaki. Bpom juga melakukan survaillance terhadap seluruh merek susu dan makanan bayi yang beredar di pasaran.
Survaillance terus berlanjut hingga saat ini, tetapi Bpom sudah tidak menemukan satu pun merek susu yang mengandung cemaran E. Sakazaki, paska adopsi Codex itu.
“BPOM adalah lembaga pengawas, kami tidak dapat melakukan pengawasan sebelum ada aturannya. Oleh karena itu Codex harus diadaptasi kemudian kami melakukan pengawasan terhadap susu yang beredar di pasaran mulai 2009, berdasarkan Codex” Jelas Kustantinah, Kepala BPOM.
Berdasarkan fungsi pengawasan itulah BPOM mengumumkan hasil penelitiannya terhadap berbagai susu yang ada di pasaran. Sejak 2009 hingga kini Bpom telah meneliti 117 jenis susu di pasaran Indonesia yang kesemuanya aman dari E. Sakazaki.

Harry Suhardiyanto, Rektor IPB mengatakan untuk mengumumkan jenis susu yang aman dan tidak aman demi memenuhi kepentingan publik merupakan kewenangan Bpom, apalagi Bpom telah melakukan penelitian paling baru dari segi waktu serta mencakup seluruh jenis susu formula dan makanan bayi yang ada.
Apabila IPB terpaksa mengumumkan merek susu dengan cemaran E. Sakazaki berdasar hasil penelitian Estu, hal tersebut akan menyalahi prinsip keadilan dalam penelitian karena sampel yang digunakan belum mencakup seluruh sampel yang beredar di pasaran.

Padahal sampel yang tidak diteliti belum tentu terbebas dari cemaran. Hal ini tentu tidak adil dan mendiskriminasi pihak tertentu karena tidak seluruh sampel yang ada diteliti.
Sementara itu,  kewajiban mempublikasikan isi penelitian sudah dilakukan IPB dan Estu melalui berbagai Jurnal Internasional. Hasil penelitian tersebut juga telah dipaparkan dalam pertemuan internasional tentang E. sakazakii yang diselenggarakan oleh WHO dan FAO di Roma, Italia pada 2006.
Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengungkapkan pihaknya tidak dapat memaksa IPB untuk mengumumkan merek susu karena IPB adalah lembaga independen yang tidak memiliki kewajiban melaporkan hasil penelitiannya.

Fasli Jalal, Wakil Menteri Pendidikan Nasional juga menghargai sikap IPB untuk tidak menyebutkan merek susu yang menjadi sampel penelitian karena telah diatur dalam kode etik internasional bahwa merek produk yang menjadi objek penelitian tidak disebutkan.
Selain itu dia juga menyatakan kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan pada penyelenggara pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dilindungi oleh hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 UU No 20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional.

———-

Di Luar persoalan hukum, probabilitas infeksi oleh E. Sakazaki sangatlah kecil, terhitung hanya ada 48 kasus bayi yang terinfeksi selama 42 tahun dalam kurun waktu 1961-2003. E. sakazaki juga hanya berbahaya bagi bayi di bawah usia 28 hari, bayi yang lahir dengan berat badan rendah, prematur, serta bayi dengan human immunodeficiency virus (HIV).
Oleh karena itulah bayi baru lahir hingga usia enam bulan sangat disarankan untuk mengonsumsi ASI eksklusif. Akan tetapi jika harus ditambahkan dengan susu formula penyajiannya harus dipastikan higienis karena pencemaran E. Sakazaki tidak hanya terjadi dari bahan baku maupun pasteurisasi susu, tetapi juga ketika pembukaan kemasan susu hingga susu disiapkan.

E. Sakazaki sebenarnya mudah dilumpuhkan. Bakteri tersebut akan mati dalam 15 detik jika berada pada suhu 70 derajat celcius atau lebih. Penyajian susu pun harus diperhatikan, misalnya susu yang sudah dingin lebih dari dua jam sangat riskan terkena bakteri.

Jika penyajian makanan bayi dilakukan dengan mengikuti peraturan yang ada, maka infeksi bakteri tidak mungkin terjadi. Namun demikian, masyarakat sudah terlanjur resah, kerugian juga bisa jadi akan dialami oleh industri susu nasional, sementara pemerintah tak kunjung memberikan penjelasan memadai.
Pihak pemerintah, dengan BPOM dan kementerian Kesehatan sebagai tergugat, seharusnya mengambil langkah untuk mulai mengedukasi masyarakat, alih-alih bersembunyi dan memojokan pihak tertentu di balik keputusan hukum.

Selain itu, jika dibiarkan berlarut, tuntutan hukum ini dapat memicu keresahan peneliti sehingga mereka enggan berkreasi dan berinovasi menghasilkan penelitian. Jika sudah begitu maka masyarakat juga yang dirugikan akibat kemandegan ilmu pengetahuan serta kesehatan di Indonesia.(hh)

2. ALASAN KUAT, MENGAPA IPB TIDAK UMUMKAN SUSU BERBAKTERI E. SAKAZAKII


Oleh : Abdul Haris
Kasus yang satu ini, bak sebuah gelombang dahsyat yang sedang menerpa ibu-ibu yang memiliki Balita saat ini. Kasus ini, di media massa statusnya bahkan stara dengan kasus-kasus besar lainnya. Kasus besar Bank Century sudah pasti terlewat jauh, kasus seperti gayus pun telah lenyap. Penyerangan Ahmadyah di Pandeglang juga lewat oleh peristiwa yang satu ini.
Sebenarnya… apa alasan sebuah institusi IPB untuk memilih menutup ‘mulut’ untuk kasus yang sedang berlangsung ini? sebuah jawaban dari dosan di kampus saya, yang bisa memberikan pemahaman apa sebenarnya alasan di balik itu. Etika ilmiah dan hukum yang memang saat ini belum sejalan. bermula dari statu dosen tersebut:
Arya Hadi Dharmawan : Sampai manakah batas kekebalan hukum sebuah “aktivitas riset ilmiah (menyangkut barang yg dikonsumsi publik) yg menghasilkan temuan ilmiah utk pengembangan ilmu” hrs diungkap ke publik? Bila setiap hasil penelitian kritis yg dilakukan oleh ilmuwan perguruan tinggi dipaksa utk diungkap ke publik, dan setelah itu penelitinya dituntut, maka ke depan tak akan ada lagi penelitian kritis yg dilakukan oleh para ilmuwan…
Dari statusnya tersebut… saya kemudian membuat sebuah tulisan di salah satu forum mahasiswa IPB, kebetualn beliau saat itu bergabung di sana… saya menulis….
Abdul Haris : Apa sebenarnya alasan IPB tidak mengumumkan Susu Formula yang mengandung bakteri sakazaki???
*masih tanya-tanya…
Beliau kemudian menjelaskan:
Arya Hadi Dharmawan
Salam prihatin, 
Hasil penelitian ilmiah yg dilakukan oleh tim dosen IPB ttg kandungan bakteri enterobacter pada susu formula utk bayi, memasuki babak baru perdebatan publik yg mulai menyita perhatian. Entah kenapa isu ini sama-sama besarnya …dgn isu konflik horisontal Cikeusik dan Temanggung, di panggung TV nasional.
Pokok persoalannya, sejumlah konsumen menuntut IPB untuk membuka ke publik, ttg susu formula merk apa saja yg tercemar bakteri tsb. Alasannya, para konsumen khawatir para balitanya terkena bakteri yg katanya mematikan itu. Proses hukum telah putus di level MA. Pada tataran ini IPB menghadapi dilema (sekaligus jebakan) yg tidak mudah.
Bila tuntutan ini diikuti, maka IPB terkena dua jebakan sekaligus: (1) layakkah secara etika-keilmuan, penelitian ilmiah dibuka ke publik? Bila IPB membuka hasil penelitian ini ke publik, maka ciri lembaga keilmuan IPB (khusus dalam kasus ini) berubah mjd layaknya LSM. IPB pun dianggap mencederai etika saintifik-akademik; (2) diduga ada motif “ekonomi politik” bermain di “panggung belakang” proses penuntutan ini. Bila IPB mengumumkan merk susu formula ke publik, maka tak bisa dijamin para kapitalis produsen susu itu tak akan menuntut balik ke IPB. Pada titik ini IPB akan menjadi “bulan-bulanan” para pemilik modal besar susu formula yg headquater-nya hampir semua berada di negara-negara adidaya ekonomi itu.
Artinya, IPB sedang dijebak, (dalam hal ini) oleh tiga aktor sekaligus: (1) publik/konsumen susu formula; (2) etika akunrtabilitas [hukum positif], (3) “singa-singa” kapitalis yg siap menerkam IPB.
Pertanyaannya bagi kita dibalik keprihatinan ini adalah: Sampai manakah batas kekebalan hukum sebuah “aktivitas riset ilmiah (menyangkut barang yg dikonsumsi publik) yg menghasilkan temuan ilmiah utk pengembangan ilmu” hrs diungkap ke publik? Bila setiap hasil penelitian kritis yg dilakukan oleh ilmuwan perguruan tinggi dipaksa utk diungkap ke publik, dan setelah itu penelitinya dituntut, maka ke depan tak akan ada lagi penelitian kritis yg dilakukan oleh para ilmuwan…
Kuatlah IPB-ku, jangan menyerah…
Salam
Arya H Dharmawan
Sebuah pencerahan, menggambarkan alasan mengapa IPB memilih untuk berdiam diri dalam kasus tersebut…
haruskah publik memaksa IPB untuk mecederai Etika Ilmiah yang sudah ada sejak awal?
Dan ajakah jaminan untuk IPB, bahwa IPB tidak akan dituntut balik oleh sang raja Kapitalis?
tak ada jaminan untuk itu…
3. REKTOR IPB PUBLISH "E. SAKAZAKII"
Oleh :  Syafa CSS mora, Koran Kampus IPB
“Pandanglah dan jelaskan dengan kasih sayang, mungkin “mereka” belum mengetahui dan memahami. Bangsa ini memerlukan edukasi moral dan etika yang kini makin langka.....”, Rektor IPB dalam Lokakarya Kemahasiswaan.
IPB, Minggu (20/02) – Akhir akhir ini IPB dihujat oleh beberapa kalangan publik yang intinya pemaksaan  publikasi atas lima merk dagang susu kontaminan bakteri E.sakazaki. Kegeraman publik diekspresikan dengan plesetan singkatan IPB, Insitut Pecundang Bogor, Institut Pengecut Bogor, dan plesetan negatif lainnya. Jika ditelusuri susu formula pada bayi sudah dipastikan aman untuk dikonsumsi. Hal ini seiring dengan penelitian BPOM pada tahun 2008 yang menguji sebanyak 96 sampel susu formula dan dinyatakan semuanya NEGATIF. Masih perlukah pemaparan 5 merk dagang tersebut, sedangkan sudah jelas jelas seluruh susu formula yang berdar di pasaran bebas dari kontaminan E.sakazaki.
Pada Lokakarya Kemahasiswaan, Rektor IPB Prof. Dr. Ir. Herry Suhardiyanto, Msc memaparkan penjelasan terhadap penelitian Dr. Sri Estuningsih selaku ahli Mikrobiologi Kedokteran Hewan yang telah memberikan dampak hujatan publik kepada IPB. Pada beberapa kalangan publik, ada yang menganggap remeh penelitian beliau disebabkan background profesinya sebagai dokter hewan. Penelitian ini juga dianggap belum mendapat ijin oleh Kementrian Kesehatan.
Dosen FKH yang akrab di panggil Dr.Estu ini melakukan penelitian berdasarkan Dana Hibah Bersaing. Hal ini dapat dijadikan pondasi bahwa penelitian Dr.Estu adalah penelitian murni resmi. Topik penelitian yang diajukan yaitu mengisolasi bakteri E.sakazaki. Sebenarnya bakteri E.sakazaki sudah teridentifikasi sejak tahun 1958 namun belum dapat dipastikan keganasannya. Bakteri ini mudah berkembang pada media yang mengandung protein tinggi salah satunya pada susu. Pada perjalanan penelitiannya tahun 2003/2006 beliau mengambil sampel dari susu formula. Naluri jiwa penelitiannya memicu  Dr. Estu melakukan penelitian lebih terhadap bakteri ini, sampai dilakukan di Jerman karena tidak adanya fasilitas di Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut, diketahui 5 dari 22 produk susu yang diteliti ternyata mengandung kontaminan bakteri E.sakazaki. Bakteri tersebut kemudian diujicobakan pada seekor mencit dalam dosis yang cukup tinggi, ternyata bakteri ini menyerang jaringan otak. Hal ini tentu berbeda dengan dosis yang dikonsumsi manusia karena bayi manusia tidak sama dengan bayi tikus.
Dr. Estu sigap mengambil tindakan dengan cara mem-publish kontaminan bakteri ini pada berbagai seminar baik didalam maupun diluar negeri. BPOM hingga tahun 2008 tidak dapat melakukan tindakan apapun terkait dengan bakteri ini, sebab belum terdapat peraturan terkait dengan bakteri kontaminan ini. Hingga FAO pada seminar Internasional tahun 2008 mengundang beberapa ahli dari penjuru dunia, Dr.Estu sebagai perwakilan dari Asia. Dalam seminar tersebut FAO memaparkan standar keamanan internasional susu harus bebas dari kontaminan E.sakazaki. Dr. Estu dan berbagai pihak yang berwenang mewanti wanti produsen susu agar memperbaiki kualitas susu. BPOM melakukan pengujian pada 96 susu dan dinyatakan kesemuanya NEGATIF.
Pempublishan ini acap kali memberikan dampak negatif pada Dr. Estu pada khususnya dan Institut Pertanian Bogor pada umunya. Dunia akademisi sedang diuji baik etika maupun profesionalitasnya. Jika IPB mempublish 5 merk dagang susu formula, selain dapat merugikan produsen tersebut mungkin ini adalah pertama kalinya penelitian yang dipublish di dunia internasional. Hal tersebut sudah tercantum dalam kode etik peneliti. Banyak masyarkat indonesia yang hanya memilki pengetahuan saja namun tidak memilki Ilmu Pengetahuan. Terlalu murah IPB untuk dibeli oleh pihak pihak yang tidak bertanggung jawab atas kepentingan politik. Perspektif yang telah tercampur aduk antara politik dan ilmiah diharapkan tidak menciutkan jiwa peneliti kritis untuk berkiprah dalam kemajuan dunia. 
Mari, lihatlah dengan Kacamata masyarakat yang cerdas !

5 komentar:

madeinjogja mengatakan...

nice info gan.. :D

Yusrizal Ihya mengatakan...

tengkyu atas kunjunagannya agan "jogjapulsa"...:)

altroBlog mengatakan...

nice share,..
follow me in ,. http://altro-youcan.blogspot.com/

Iim Ibrahim mengatakan...

saya sangat senang terhadap artikel yang anda postingkan,karna saya sangat membutuhkan informasi ini.....

Yusrizal Ihya mengatakan...

Sama2 Iim...kita memang harus berbagi informasi untuk memperluas pandangan kita terhadap suatu permasalahan, agar kita tidak asal men-judge sesuatu benar atau salah hanya dari satu Kacamata saja...
tengkyu atas kunjugannya :)

Posting Komentar

Silakan ngoceh disini...