"Kenapa bertopeng jika tak punya muka?!"

Kamis, 30 Agustus 2012

Waktu : Sang Pembunuh


Minal Aidin Wal Faizin. Mohon Maaf Lahir dan Batin. 
Itulah kalimat yang memenuhi inbox HP, timeline twitter, notiffication facebook saya selama beberapa hari pasca Sholat Idul Fitri tahun ini.
Bagi saya, suasana Ramadhan tahun ini kesannya tidak jauh berbeda dari lebaran tahun-tahun sebelumnya. Sensasi Puasa selama 29 hari. Bertemu keluarga besar di kampung halaman. Bertemu kawan-kawan lama di kampung halaman. Senyum, tawa, canda yang sanggup meluruhkan beberapa jaring laba-laba yang ada di kepala. Jaring-jaring kepenatan dan kebosanan dengan berbagai hal monoton yang terjadi di hidup saya selama perantauan. Pagi kerja, malam kuliah, tengah malam mengerjakan tugas, dini hari maen game. Semuanya berjalan seperti grafik cartesius y=1. Tak naik dan tak juga turun, stabil tapi membosankan. 
Itulah kenapa ada beberapa orang yang sering berganti-ganti pekerjaan. Ada juga yang tidak suka kerja di depan desktop dan duduk manis tiap harinya, lebih menyukai kerja langsung di lapangan. 

Daripada ngelantur kemana-mana, saya kembalikan lagi ke jalur yang benar. Tentang Ramadhan, dari kacamata saya. Tidak jauh berbeda dari Ramadhan yang lalu, yang dari hari ke hari semakin turun euforia-nya di negeri ini. Suasana kental religius selama bulan Puasa semakin tak terasa. Hotpants dan tanktop masih beterbangan dimana-mana, bandar judi masih berpenghasilan lancar, prostitusi meski dengan sembunyi-sembunyi tetap memenuhi sudut remang-remang, masjid yang cuma ramai di awal Ramadhan saja, acara TV yang masih penuh dengan hal-hal absurd anti edukasi dan menyesatkan moral, acara TV saat sahur dan buka yang makin jauh dari keagamaan; hanya berisi acara lawak kacau yang dilengkapi beberapa wanita berkerudung "dadakan".

Dikelilingi dengan berbagai hal absurd itu membuat saya jengah. Untunglah suasana kampung halaman menjadi oase yang menyejukkan dan sanggup menyelamatkan saya dari kejengahan tersebut.

Pertama, bertemu keluarga dan sanak saudara, sekaligus acara nikahan kakak saya yang Alhamdulillah berjalan lancar.  
Saat kumpul keluarga, kepada sepupu saya yang bernama si A, tanpa sadar saya pun berkata "Wah dulu masih kecil ya, sekarang tingginya udah hampir ngalahin gue!"
Saya pun tersadar, betapa cepatnya waktu memakan usia kita.
Apalagi ditambah dengan kalimat pertanyaan yang rupanya lagi nge-trend di Lebaran tahun ini, yaitu pertanyaan "KAPAN?"
Kapan Nikah?
Kapan Lulus?
Kapan Wisuda?
Untung saya sudah menyiapkan teknik untuk melakukan "pe-ngeles-an" laksana belut yang licin, menggeliat, melepaskan diri dan mengalihkan perhatian para "wartawan". Haha

Kedua, berjumpa dan berbagi kisah dengan sahabat-sahabat SMA dan kampung. Saling bercerita tentang berbagai hal-hal masa muda dulu, yang setelah kami pikirkan di usia sekarang ini adalah sebuah implementasi nyata dari ketololan, kesembronoan dan kekonyolan labil tingkat tinggi seorang remaja bau kencur. Tawa pun mengiringi perbincangan yang tak pernah membosankan itu. 

Memang, waktu adalah pembunuh paling kejam. Bila kita terlena, tanpa sadar dia akan membuat rambut kita beruban, tulang kita keropos, kulit kita keriput dengan cepat tanpa kita sadari. 
Aku tak akan semudah itu membiarkan waktu tertawa pongah membunuhku. 
Karena aku akan menyumpal mulutnya dengan kenangan indah dan luar biasa yang akan aku buat.
Yang membuatku selalu dikenang oleh waktu. Menjadikanku salah satu manusia tersulit yang akan dia bunuh. 

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan ngoceh disini...