"Kenapa bertopeng jika tak punya muka?!"

Rabu, 10 Oktober 2012

Sebuah Perdebatan

Sumber Ilustrasi
Terkadang, ada beberapa orang yang menyukai perdebatan. Sengaja memancing beberapa hal yang memicu orang lain untuk memberikan argumen perlawanan. Lalu sang pemancing pun menikmati perdebatan tersebut, bukan untuk menemukan solusi. Tapi hanya untuk memutar balikkan logika yang memancing emosi lawan. Mempertahankan argumen awal yang dia sampaikan dengan berbagai macam cara yang terkadang hanya merupakan akal-akalan dan permainan dari serangkaian fakta yang dia kumpulkan. Bahkan kadang tidak perlu sebuah fakta yang riil, cukup dengan beberapa kumpulan quote dari beberapa cendekiawan yang akan membuat lawan terperangah dan semakin kesal karena rupanya kita lebih cerdik dari dia.

Saya sendiri terkadang pernah memerankan sosok antagonis seperti itu dalam sebuah perdebatan. Perdebatan yang pada ujungnya hanya membuat permusuhan ideologi. Perdebatan yang lebih mirip debat antara kusir yang beradu argumen berdasarkan emosi mereka, bukan berdasarkan akal dan kecerdasan mereka. 

Hal yang paling sulit saya lakukan adalah "mengakuinya". Untuk sekadar membuat pengakuan bahwa saya telah mengikuti sebuah perdebatan yang tak bermanfaat seperti itu sangatlah sulit. Apalagi mengaku kepada lawan debat. Emosi selalu lebih kuat daripada logika dan kecerdasan seseorang. Emosi adalah racun yang membuat cendekiawan tampak seperti keledai dungu yang ngotot dengan argumen-argumen pembantahan dirinya. Emosi membuat seorang ilmuwan dan tokoh agama seakan memberikan penjelasan konyol dan tak lebih bijak dari seorang bocah 5 tahun. 

Beberapa waktu lalu saya terjebak dalam ruang perdebatan seperti itu. Saya tak bermaksud menjadi tokoh antagonis seperti itu, tapi emosi selalu berhasil mengkamuflase segala kecerdasan manusia. Membuat saya secara tidak sadar menjadi seorang pendebat yang menyerang mental lawan dengan berbagai kalimat tusukan yang tajam dan menyakitkan. Lawan saya adalah kawan dekat saya sendiri. Mungkin karena kita sudah terlalu lama mengenal satu sama lain, masing-masing menyimpan berbagai bongkahan es amarah yang memenuhi isi kepala. Jadi tinggal tarik tali pemicunya saja, maka bom akan meledak. Mengeluarkan segala bongkahan es tersebut. Menciptakan suasana perdebatan yang tidak sehat. 

Perdebatan bermula dari perbedaaan ideologi. Dan ideologi adalah sebuah hal yang sulit disatukan dalam satu titik puncak yang bernama solusi. Ideologi yang tertanam dalam tiap kepala orang ibarat tanda lahir yang kita bawa sampai mati. Berbeda, tak pernah sama meskipun terkadang serupa. Ideologi adalah sebuah hal relatif yang memiliki bentuknya sendiri berdasarkan pemikiran tiap manusia.

Akhirnya, satu hari setelah perdebatan yang belum berakhir di hari sebelumnya. Saya mencapai titik pembelajaran yang membuat saya mengerti. Saya teringat dengan sebuah kalimat yang sering terlontar dari Ayah saya saat saya kecil dulu dan sering bertengkar dengan adik.
Ayah saya selalu menyuruh saya mengalah kepada adik saya, walaupun saya tetap ngotot dan bersikeras bahwa saya benar. Ayah saya bilang, "Mengalah bukan berarti kalah."
Kalimat sederhana yang tentu saja sudah sering terdengar dimanapun. Tapi tidak semua orang bisa benar-benar memahami dan mengerti makna dibalik kalimat sederhana tersebut. Makna yang terkandung mungkin lebih dalam dari kalimat para filsuf bijak lainnya yang sering saya baca di buku dan berbagai update status kawan di facebook dan twitter. 

Di titik akhir tersebut, pada akhirnya saya mengeluarkan kalimat untuk kawan debat saya itu. 
"Lo bener koq bro. Okesip. ;)"
Tak mau lagi saya tampak seperti keledai dungu yang ngotot dengan argumen-argumen konyolnya. Yah, walaupun tak satu pun argumen yang saya keluarkan adalah argumen tanpa fakta dan tak berdasar. Saya masih merasa diri saya benar, argumen-argumen saya tepat sasaran dan berdasar fakta. Tapi saya harus lebih bijak menyikapi ini semua, walaupun kesal juga karena harus mengibarkan bendera putih terlebih dahulu.
Meskipun begitu, prinsip "Aku adalah apa yang aku pikirkan. Bukan apa yang mereka katakan." tetap berlaku dalam pemikiran saya. Tak perduli dengan apa yang orang katakan, jati diri dan ideologi saya adalah saya sendiri yang menentukan. Bukan mencari jati diri, saya membentuk jati diri saya sendiri. 

Point yang saya petik disini bukanlah tentang kalah dan menang, melainkan adalah kebijakan yang harus dimengerti seseorang dalam bertukar pikiran dan pendapat. Debat tidaklah sehat, karena lebih cenderung untuk mempertahankan pendapat masing-masing tanpa mencari titik solusi pemecahan masalah.
Pertukaran pendapat yang sehat adalah saling menghormati dan tidak meremehkan pendapat orang lain meskipun bertentangan dengan pemikiran kita. 
Yang perlu dilakukan adalah memahami bahwa kita memiliki paradigma di kepala masing-masing dalam melihat suatu permasalahan. Paradigma yang berbeda tidak pernah bisa disatukan. Cukup saling mengerti kita memiliki ruang pemikiran yang berbeda. Lalu, bergerak mencari solusi agar tercapai satu kata mufakat yang bijak dalam hubungan yang terjalin antara perbedaan tersebut.

Analoginya, ada dua kota yang sangat berbeda budaya dan adat terpisahkan oleh sebuah jurang. Kita tak akan pernah bisa menjadikan dua kota itu menjadi satu kota, karena akan terjadi bentrok budaya dan adat. Yang perlu kita lakukan adalah bagaimana membuat satu jembatan yang menghubungkan dua kota tersebut. 
Jembatan yang menjadi jalan penghubung antar kota, sehingga tiap rakyat yang ingin berkunjung ke salah satu kota tidak mengalami kesulitan. Dan jika orang tersebut tidak ingin menetap di kota yang dia kunjungi, dia masih bisa kembali melalui jembatan tersebut ke kota asalnya.

Ada sedikit petikan hadits dalam Agama saya tentang perdebatan.

Nabi Muhammad shållallåhu ‘alayhi wa sallam
Aku akan menjamin sebuah rumah di dasar surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun dia berada dalam pihak yang benar. Dan aku menjamin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun dalam keadaan bercanda. Dan aku akan menjamin sebuah rumah di bagian teratas surga bagi orang yang membaguskan akhlaknya.”
(HR. Abu Dawud dalam Kitab al-Adab, hadits no 4167. Dihasankan oleh al-Albani dalam as-Shahihah [273] as-Syamilah)

Nabi Sulaiman ‘alaihissalam
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata kepada putranya:
“Tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.”
[Ad-Darimi: 309, al Baihaqi, Syu’abul Iman: 1897]
Muslim Ibn Yasar rahimahullah
“Jauhilah perdebatan, karena ia adalah saat bodohnya seorang alim, di dalamnya setan menginginkan ketergelincirannya.”
[Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra; Darimi: 404]
Abdullah ibn Hasan ibn Husain rahimahullah
Dikatakan kepada Abdullah ibn al Hasan ibn al Husain rahimahullah,
“Apa pendapatmu tentang perdebatan (mira’)?”
Dia menjawab:
“Merusak persahabatan yang lama dan mengurai ikatan yang kuat. Minimal ia akan menjadi sarana untuk menang-menangan itu adalah sebab pemutus tali silaturrahim yang paling kuat.”
[Tarikh Dimasyq: 27-380]
Ah, perdebatan yang tak sehat memang hanya akan merusak persahabatan kita kawan,
Mari kita bertukar pikiran dan pendapat secara sehat. Tak perlu ada perdebatan dan emosi di dalamnya. :-)

4 komentar:

Ca Ya mengatakan...

umm....ak jg orgnya suka gak mw kalah...waktu kecil jg suka berantem ama adek krn gak mw ngalah..sederhananya,,napa musti kakak mulu yg ngalah??hahha ego bocah ababil :D

tp emosi emg slalu ngikutin acara2 debat kusir..ga ada org yg mw kalah kok tp emg cm sedikit yg mw ngalah :)

rois mengatakan...

w tau ni lo debat sma siapa... yg bwt whatsapp ngehang yah.. haha..

makanya jauhi jidal yg gx penting.. hehe

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
YuZ mengatakan...

Hahaha, begitulah hidup. Hidup penuh perbedaan. Terkadang juga bikin kita lupa mengendalikan logika. :D

Posting Komentar

Silakan ngoceh disini...