"Kenapa bertopeng jika tak punya muka?!"

Rabu, 05 Desember 2012

Life of Pi. Spiritualitas Berbalut Perjalanan Menakjubkan.


Beberapa waktu lalu, saat weekend, saya diajak kawan saya dan kawannya untuk menonton film di bioskop. Awalnya, saya tak ada niat sama sekali untuk mengisi weekend kala itu dengan berwisata ke bioskop. Namun, meski begitu, akhirnya saya intip juga jadwal film yg ada di Bogor kala itu.
Saya sedang malas nonton karena akhir-akhir ini bioskop di Bogor dikuasai oleh rezim film popcorn macam Breaking Dawn dan Skyfall. Sebenarnya saya ini movie enthusiast tipe "Lintas Genre". Selama itu bukan film horror tali kutang Indonesia dan film sampah sejenisnya, saya masih menyanggupi untuk menontonnya.
Mulai dari film mainstream atau romantika rasa popcorn, sampai film anti-mainstream penuh konspirasi atau yang bikin dahi berkerut karena story yang "twist" dan "mindfuck". Semuanya saya lahap.
Tapi karena mood saya akhir-akhir ini menginginkan film berbobot sedikit, saya pun mengesampingkan Skyfall dan Breaking Dawn. Atau mungkin karena tak ada kawan yang mengajak menonton kedua film itu, hahaha *tawa ironis.

Saat membuka jadwal film yang sedang tayang di Bogor, mata saya langsung tertuju ke satu judul. Life of Pi.
Beberapa waktu lalu, saya pernah menitip ke seorang teman yang sedang berada di pameran buku di Jakarta agar dibelikan buku dengan judul yang sama dengan film itu. Tapi sayangnya teman saya tidak memperoleh buku tersebut dalam versi diskon, dengan kata lain buku Life of Pi tidak masuk kategori yang mendapat potongan harga di pameran tersebut. Kawan saya malah menawarkan "The Girl with Dragon Tattoo" yang saat itu diskon 20%. Akhirnya saya alihkan target ke buku karya Stieg Larsson itu mengingat kantong kempes saya di pertengahan bulan. Sedangkan Life of Pi karya Yann Martel mungkin akan masuk list target saya di waktu depan.

Tanpa banyak pikir lagi, saya langsung ajukan proposal ke kawan sayadengan sedikit memaksa tentunyauntuk memilih Life of Pi sebagai film yang akan kami tonton. Dengan sedikit kemampuan marketing kelas pasar burung, saya pun berhasil mengarahkan pikiran kawan saya itu agar dipenuhi dengan berbagai rasa penasaran tentang Life of Pi.
Dengan berbekal sedikit pengetahuan tentang bukunyayang pernah saya curi baca di gramediasaya akhirnya berhasil duduk di studio bioskop bersama 3 kawan saya, menunggu dengan antusias apa yang akan muncul dari keyword "Life of Pi" di layar perak di depan kami.

Apa yang saya peroleh setelah keluar dari studio bioskop?
Beberapa saat, saya masih tak bisa berkedip untuk menghentikan binar di mata saya. Mulut saya pun masih ternganga persis seorang bocah yang baru saja dicium keningnya oleh bidadari yang baru turun dari langit.

Amazing!
Itulah yang bisa saya ucapkan untuk kehebatan sutradara Ang Lee dan crew-nya menggarap film dari sebuah buku yangkata para pembacanyaunfilmable.
Berbagai unsur spiritualitas dan keindahan yang tertanam secara implisit dalam kisah di buku Life of Pi berhasil di-visualisasikan secara luar biasa oleh Ang Lee.
Awalnya saya tak mau berekspektasi terlalu tinggi saat memasuki studio mengingat komentar unfilmable dari para pembaca buku Life of Pi. Yah, minimal jangan “sampah-sampah” banget lah, begitu perkiraan saya.
Semua keraguan saya tercabik-cabik secara manis oleh narasi, dialog, alur cerita dan especially visualisasi yang dibangun secara mengagumkan dalam film ini. Seandainya bisa, saya akan memaksa mata saya untuk tak berkedip sedikitpun saat menontonnya. Sungguh sangat disayangkan jika ketinggalan satu frame saja dari seluruh kesatuan karya seni yang tersaji di depan saya saat itu.
Life of Pi, sebuah dongeng indah yang menjadi nyata!

Sutradara Ang Lee pernah membuat saya terkagum-kagum saat menelurkan Crouching Tiger Hidden Dragon. Pertarungan Chow Yun Fat dan Michelle Yeoh di daun-daun bambu memberikan saya pandangan baru tentang sebuah seni pertarungan china kuno. Dalam film tersebut saya seakan melihat sebuah puisi yang divisualisasikan dalam bentuk pertarungan pedang dua pendekar yang sesungguhnya terjebak romansa. Sekali lagi, Ang Lee berhasil menciptakan sebuah puisi yang indah menjadi bentuk materi dalam Life of Pi. Dengan dibantu Claudio Miranda sebagai sinematografer yang juga pernah terlibat dalam The Curious Case of Benjamin Button, Tron Legacy dan Se7en, Ang Lee mengkonversi barisan kalimat deskriptif dalam Life of Pi menjadi bentuk materi dan real secara menakjubkan.

Pi, yang tinggal di kebun binatang, dalam bukunya mendeskripsikan tempat tinggalnya itu laksana sebuah surga. Saya tak menyangka bahwa gambaran surga dalam bentuk kebun binatang itu berhasil ditampilkan secara menyentuh dan penuh unsur estetika di bagian intro film ini.
“Intro yang sempurna”, begitu gumam saya saat layar perak di depan saya mulai berpendar mengawali film ini.

Untuk sinopsis Life of Pi silakan baca disini : KLIK
Soalnya saya tak mau menulis sinopsisnya di tulisan ini, kepanjangan nanti (ini aja udah panjang ya? Haha).

Film ini menggunakan metode framing device. Jadi narasi disampaikan seperti sebuah interview tapi tanpa menggurui dan dramatisir yang berlebihan. Metode narasi ini juga pernah digunakan di film Titanic, seperti saat Rose tua (Kate Winslet) menceritakan kisahnya pada beberapa anak muda. Sedangkan tokoh Pi tua disini menceritakan kisahnya pada sang penulis. Dalam hal ini berarti penulis ini adalah Yann Martel yang menulis buku Life of Pi. Karena memang Yann Martel di bukunya bilang bahwa kisah yang dia tulis ini adalah “kisah nyata”. Percaya tak percaya itu terserah kita.

"Tentu saja ini nyata. Bukankah karya seni yang indah itu selalu nyata?" [Yann Martel]

Ang Lee menggandeng David Magee sebagai penulis naskah (screenplay) dan Tim Squyres sebagai editor. Ang Lee dan David Magee berhasil mengkombinasikan permainan narasi yang cerdas, berbobot dan mudah dicerna menjadi satu kesatuan yang mengalir manis sepanjang film ini. Bahkan jika disediakan buku catatan di depan saya, mungkin saja saya tak bisa berhenti untuk menulis deretan quote menarik yang sering muncul di beberapa dialog film ini.

“Jika kamu percaya pada segala hal, itu sama saja dengan tak percaya apapun” [Ayah Pi]

Penulis : “Kata dia (Mamaji), kamu bisa membuatku mempercayai Tuhan.”
Pi : “Aku tidak menyuruhmu mempercayai Tuhan. Aku hanya menceritakan kisahku.”

“Suatu saat, beberapa hal dalam hidup akan pergi satu persatu. Tapi yang paling menyakitkan adalah pergi tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal.” [Pi]

Ayah Pi : “Kita akan pergi meninggalkan India. Kita akan berlayar ke Kanada. Seperti Columbus.”
Pi : “Tapi, bukankah Columbus mencari India?”

Tim Squyres yang sudah akrab dengan Ang Lee melalui kerja sama mereka di film-film sebelumnyaCrouching Tiger Hidden Dragon, Sense and Sensibility, Hulktentu saja sudah mengerti betul tentang apa yang harus dilakukannya untuk menggabungkan pondasi-pondasi cerdas yang sudah dibangun Ang Lee dan David Magee. Tim Squyres berhasil menjadi sosok penyelesai akhir keseluruhan “bangunan” Life of Pi menjadi sebuah Istana yang megah, memanjakan mata, menyentil berbagai prinsip hidup dan menjamah alam imajinasi liar para penonton film ini. Sungguh sempurna apa yang telah dikerjakan oleh Ang Lee dan crew-nya.

Beberapa hal yang memungkinkan terjadi efek brutal dan “gore” yang terlukis di bukunya berhasil digeser Ang Lee secara cerdik dalam visualisasi di filmnya, sehingga film ini tetap berada dalam radius penonton remaja-dewasa. Karena memang di dalam bukunya, adegan pembantaian sang harimau bernama Richard Parker saat memangsa kambing di kebun binatang dijelaskan secara spesifik, begitu juga saat Hyena memangsa Zebra dan Orang Utan di atas sekoci. Apa yang dilihat oleh Pi secara kasat mata terlukis secara nyata di bukunya, memungkinkan terjadinya efek muntah-muntah bagi pembaca yang berimajinasi berlebihan. Namun, hal itu dapat dikonversi oleh Ang Lee menjadi lebih “bersahabat” terhadap penonton yang mungkin kebanyakan tidak menyukai hal seperti itu. Tentunya saya tidak termasuk dalam daftar penonton seperti itu, karena saya justru mengharapkan detail dari keseluruhan kebrutalan itu, haha. Sudah saya bilang, saya ini penonton “lintas genre”, dari drama yang membutuhkan tisu sampai film psikopat penuh darah muncrat dan gumpalan daging berserakan, semuanya saya lahap.

Film ini sarat dengan unsur pluralisme, tentunya memang dibutuhkan pola pikir yang cerdas dan dewasa saat kita menontonnya. Ang Lee berhasil menyajikan kondisi jiwa dan kegamangan hati Pi dalam pencariannya terhadap sosok Tuhan secara jenaka dan menarik dalam separuh awal film ini, begitu juga kisah singkat asal mula nama panggilan “Pi” yang merangsang syaraf humor penonton.

Latar belakang keluarga Pi, kehidupan Pi kecil di dalam kebun binatang, rasa keingintahuan Pi kecil terhadap berbagai macam hal terutama dalam hal agama/kepercayaan, serta sedikit sentuhan romantika tak picisan, semuanya berhasil disajikan Ang Lee dalam nuansa yang tepat dan tidak terlalu sulit dicerna penonton sebagai materi “pemanasan” film ini. Memang, dibandingkan dengan deretan film anti-mainstream lain yang pernah saya tonton, alur cerita dan narasi film ini masih termasuk mudah dicerna, tapi tidak mengurangi bobot dari dialog-dialog cerdas yang dibangun oleh David Magee sebagai penulis skenario.

Mychael Danna didapuk sebagai penata musik film ini oleh Ang Lee. Little Miss Sunshine adalah salah satu film cerdas yang score-nya pernah digarap oleh Danna. Tak perlu diragukan lagi kapasitasnya menata musik. Beberapa sentuhan musik etnis india yang diciptakan oleh Danna berhasil memberikan daya magis dan membius imajinasi saya untuk bergerak lebih liar memasuki visualisasi “surga” yang tersaji di Life of Pi.

Hubungan Pi dengan Sang Harimaubernama Richard Pakerjuga terbangun secara nyata dan tidak mengada-ada. Suraj Sharma yang memerankan Pi remajayang rupanya film ini adalah akting perdananyaberhasil menghadirkan berbagai luapan emosi seorang remaja yang mencari Tuhan. Emosi marah, kecewa, depresi, tertawa, menangis, kesepian, kepedihan, kebahagiaan, semuanya berhasil dimunculkan Sharma secara sempurna dan apik. Menakjubkan bagi seseorang yang baru pertama kali berakting dalam film “besar” seperti ini.

Sharma juga berhasil menunjukkan hubungan emosional dengan si Harimau yang dibangun secara alamiah. Perasaan takut yang harus ditekan paksa, keberanian yang muncul karena terdesak keadaan untuk bertahan hidup, rasa putus asa dan depresi terjebak di tengah lautan, didukung dengan sinematografi “ajaib” menyatu menjadi sebuah jalinan kisah yang menggetarkan hati.

Ayah Pi : “Kau pikir Harimau adalah teman? Dia itu binatang! Bukan kawan bermain!”
Pi : “Hewan memiliki jiwa. Aku melihatnya di dalam mata mereka...”

Memang ada beberapa kesalahan teknis yang berusaha ditutupi secara “tricky” di film ini, seperti saat Pi, harimau, hyena, zebra dan orang utan berada dalam satu sekoci. Namun, bagi saya, kesalahan itu tidak terlalu besar dan tak merusak pondasi yang terbangun rapi dalam Life of Pi.
Akhirnya, secara keseluruhan, film ini saya beri rating 8/10.

Kisah perjalanan yang mengandung unsur spiritual, dibalut narasi dan visualisasi yang sempurna hadir dalam Life of Pi.
Untunglah di akhir tahun inisebelum menunggu The Hobbit karya Peter Jacksonsaya masih bisa menemukan amazing movie seperti ini di bioskop.
Oh ya, sensasi “amazing” akan lebih menggigit jika Anda menonton Life of Pi di studio 3D. (Wajib!)

“Tuhan bekerja secara misterius” [Pi]

__________________________________________________________________
Sumber gambar : http://www.mtvasia.com/win/win-life-of-pi-merc-and-movie-passes/

5 komentar:

Retorika dalam Semesta ku dan kamu mengatakan...

FILM YANG BAGUS DAN POSTINGAN YANG BAGUS PULA BAPAK YUS. GOOD JOB

oiy mengatakan...

ulasan yang bagus.. sukses selalu.. :)

Anonim mengatakan...

Hi therе аll, heге eѵerу person is sharing
theѕе knowleԁge, ѕo it's pleasant to read this website, and I used to visit this weblog everyday.

Review my site: SEOPressor V5 review

Anonim mengatakan...

Hi are uѕіng Wordpгess for your sіte platform?
I'm new to the blog world but I'm trуing to get started anԁ set uρ my own.
Do уou nеeԁ any html сoding knowledge to make yоur own blog?
Any hеlp wοuld be гeally аppгeciated!


Take a loоk at my wеb page; SEOPressor V5

rizki mengatakan...

mantep dapet 4 piala oscar

Posting Komentar

Silakan ngoceh disini...